JLFR: Dari Gerakan Kritis Merebut Ruang Publik yang Kini Sekedar Bersepeda Bareng-bareng

0
48
Pesepeda yang memenuhi ruas jalanan di Kota Jogja saat menggelar Jogja Last Friday Night (JLFR). (istimewa)

Gelaran Jogja Last Friday Ride (JLFR) kembali memadati jalanan kota Jogja pada Jumat (26/9/2025) malam. Ribuan pesepeda tumpah ruah dan menimbulkan kemacetan di sejumlah titik.

Rudi, dari Lingkar Keadilan Ruang, mengatakan JLFR sejak awal bukan sekadar ajang bersepeda massal. Gerakan ini lahir dari semangat merebut ruang publik dari dominasi kendaraan bermotor dan privatisasi ruang kota.

“Dulu, kita pernah bersama sama membersihkan kewek dari iklan, mencopoti rontek dan spanduk yang asal tempel, resmi atau tidak lalu di buang ke balai kota, Hari ini hampir gak ada sikap jelas dari aktifitas jlfr selain sekedar menuhi jalan secara sporadis,” ujarnya saat dihubungi Sabtu (27/9/2025).

Ia menilai kritik warganet bahwa JLFR mengganggu pengguna jalan justru keliru. Dirinya tetap berpihak pada pejalan kaki dan pengguna kendaraan non motor. Apalagi dia menilai sampai hari ini gak ada pembenahan pedestrian, jalur sepeda dan transportasi publik

“Keseharian kita sudah ditindas mobil, bus besar, dan motor. Sepeda itu lebih aman, tidak membahayakan,” tegasnya.

Kasatlantas Polresta Yogyakarta, AKP Alvian Hidayat, mengakui kemacetan JLFR menjadi perhatian serius. Ia menyebut pihaknya telah menurunkan personel untuk rekayasa lalu lintas, termasuk buka-tutup jalan, serta menjalin komunikasi dengan pengelola JLFR.

“Evaluasi langsung kami lakukan. Intinya demi kepentingan bersama, pengguna jalan harus sama-sama mendapat haknya,” kata Alvian.

Ia menegaskan JLFR seharusnya menjadi identitas positif Jogja, bukan sumber masalah.

“Kami imbau peserta JLFR patuhi rambu lalu lintas dan arahan petugas, jaga sikap di jalan. Jangan sampai ada teriakan atau arogansi yang bisa merusak citra kota jogja,” ujarnya.

Menurut Alvian, JLFR sejak awal dikenal sebagai kegiatan positif yang menekankan saling menghormati.

“Banyak warganet menilai JLFR sekarang berbeda dengan dulu. Maka kami akan duduk bersama Dishub dan perwakilan JLFR untuk rembukan, supaya tetap jadi identitas khas Jogja yang bisa dinikmati semua pihak,” tutupnya.

JLFR sendiri sudah ada sejak awal 2000-an, mengikuti gerakan Critical Mass di berbagai kota dunia. (*)