Duka mendalam menyelimuti dunia budaya Yogyakarta. Sosok pelestari budaya sekaligus pendiri Hamzah Batik dan Raminten Group, Bapak Hamzah Sulaeman — yang dikenal luas lewat tokoh “Raminten” — tutup usia pada Rabu malam (23/4), pukul 22.34 WIB di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Ia wafat pada usia 75 tahun setelah menjalani perawatan sejak Senin pagi akibat komplikasi penyakit gula.
Kabar duka ini disampaikan langsung oleh pihak keluarga, yang memohon doa dan permohonan maaf atas segala kesalahan almarhum semasa hidup. Rencananya, jenazah akan disemayamkan di PUKY hingga Sabtu (26/4) sebelum proses kremasi dilakukan.
“Beliau adalah sosok sederhana yang mengajarkan kami untuk memanusiakan manusia. Bagi kami, beliau adalah pejuang pelestari budaya yang tak kenal lelah menjaga tradisi Jogja,” ujar salah satu perwakilan keluarga saat ditemui wartawan pada (24/4/2025) di PUKY.
Sebagai bentuk penghormatan, seluruh unit usaha Hamzah Batik dan Raminten Group di Malioboro, Ngampilan, dan Kotabaru ditutup sementara selama satu hari. Meskipun belum ada kepastian untuk cabang Jalan Kaliurang, manajemen memastikan penutupan dilakukan sebagai simbol penghormatan terakhir.
Tokoh “Raminten” yang begitu melekat di benak masyarakat Yogyakarta berawal dari nama panggung yang digunakan almarhum saat aktif di dunia ketoprak dan wayang orang.
Popularitas nama itu kemudian melejit setelah digunakan dalam sitkom kerja sama dengan TV lokal Jogja. Nama “Raminten” lantas diadopsi menjadi identitas bisnis kuliner dan oleh-oleh yang kini menjadi salah satu ikon kota Jogja.
Menurut Parji Ronowijoyo, anggota tim pengembangan Hamzah Batik, sosok Raminten terinspirasi dari “Tokoh ini menggambarkan pribadi yang tulus, selalu ingin membantu, dan berbuat baik,” ungkapnya.
Tak hanya aktif di ranah budaya populer, Mediang Hamzah juga dikenal sebagai tokoh yang menjalin hubungan erat dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Atas kontribusinya dalam pelestarian budaya lokal, beliau menerima gelar budaya dari Keraton.
Kepergian Hamzah meninggalkan jejak yang dalam, bukan hanya bagi keluarga dan rekan kerja, tetapi juga bagi masyarakat Yogyakarta yang mengenalnya sebagai simbol kehangatan, kearifan, dan cinta terhadap budaya lokal. (*)