
Meski PT Kereta Api Indonesia (Persero) telah menjadwalkan penertiban bangunan pada Kamis (3/7/2025), satu keluarga di Jalan Hayam Wuruk No. 110, Kampung Tegal Lempuyangan, Kelurahan Bausasran, Danurejan, Kota Yogyakarta, masih memilih bertahan.
Mereka menolak penggusuran sebelum PT KAI membuka dasar hukum, administrasi, dan nominal kompensasi secara transparan. Penghuni rumah yang berdiri di atas lahan eks PJKA 13 itu menilai proses pengosongan dilakukan sepihak tanpa dialog.
Kuasa hukum dari LBH Yogyakarta, Muhammad Raka Ramadhan, mengatakan pihaknya sudah melayangkan surat keberatan dan permohonan informasi hukum ke PT KAI. Namun, yang diterima justru surat pemberitahuan penertiban.
Dalam surat tersebut, PT KAI menyebutkan bahwa penertiban dilakukan karena penghuni dianggap tidak mengindahkan tiga surat peringatan sebelumnya, masing-masing tertanggal 20 Mei, 1 Juni, dan 12 Juni 2025.
Penertiban dijadwalkan berlangsung pada Kamis pukul 08.00 WIB di rumah tersebut. PT KAI juga menegaskan bahwa kerusakan atau hilangnya barang saat proses pengosongan bukan tanggung jawab perusahaan.
Namun hingga siang tidak ada tanda-tanda kedatangan petugas di lokasi.
“Kami belum pernah ditunjukkan dasar hukum, dasar administrasi, maupun aturan regulasi mengenai besaran kompensasi. Warga menunggu transparansi itu. Kalau memang ini aset KAI, buktikan. Kalau ada kompensasi, tunjukkan acuannya,” tegas Raka, Rabu (3/7/2025).
Juru bicara warga, Antonius Fokki Ardiyanto, menyoroti landasan palilah dari Keraton kepada KAI yang dinilai janggal karena tanah tersebut belum bersertifikat. Ia juga mempertanyakan keabsahan peta bertahun 1918 sebagai dasar klaim KAI. Di sisi lain, warga telah mengantongi SKT dan dikuasai secara fisik secara turun-temurun.
“Kalau KAI tetap memaksakan pengosongan, warga siap tempuh jalur hukum. Ini negara hukum, bukan negara kekuasaan,” ujarnya.(*)