Menanggapi polemik penarikan biaya administrasi sebesar Rp 1,5 juta kepada warga baru di Bangunjiwo, Bantul, Sekretaris Daerah (Sekda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Beny Suharsono, menegaskan bahwa setiap pungutan harus memiliki aturan yang jelas.
“Setiap tuntutan atau bentuk apa pun namanya, di desa juga ada retribusi. Retribusi itu ada tarifnya karena pelayanan publik itu semuanya ada SOP-nya. Jika itu menyangkut retribusi, ada tarifnya. Jika menyangkut pajak, sudah ada penetapan besaran pajaknya,” jelas Beny kepada wartawan pada Senin (22/7/2024).
Beny menekankan pentingnya transparansi dalam penetapan biaya semacam ini. Lebih lanjut, Sekda DIY mengingatkan bahwa setiap keputusan terkait pungutan harus dibahas dan disepakati bersama melalui rapat warga.
“Penjelasan tentang iuran apapun namanya kepada warga yang berencana pindah harus jelas agar tidak terjadi salah persepsi. Komunikasi sangat penting,” ujarnya.
Beny juga menegaskan bahwa ia tidak bisa menyebut penarikan biaya di Bangunjiwo sebagai pungutan karena belum jelas apakah dilakukan melalui kesepakatan warga. Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah memungut pajak dengan jelas, di mana uang yang masuk harus dikembalikan untuk kepentingan publik.
Pernyataan ini muncul setelah seorang warga baru di Bangunjiwo mengungkapkan keluhannya di media sosial terkait penarikan biaya tersebut. Menanggapi keluhan tersebut, Lurah Bangunjiwo, Pardja, menyebut penarikan biaya sebagai bentuk “kearifan lokal” yang sudah umum dilakukan.
“Itu adalah kearifan lokal di masing-masing RT. Selain itu, semua RT setahu saya melakukannya dan tidak hanya di wilayah saya (Bangunjiwo), penarikan biaya administrasi bagi warga baru memang berlaku,” ujar Pardja.
Pardja menambahkan bahwa penarikan biaya tersebut wajar karena pendatang memanfaatkan sarana dan prasarana yang telah dibangun warga setempat. Uang yang dikumpulkan pun menurutnya akan digunakan sebagai kas RT.
Kontributor: Zukhronnee Muhammad