
Produk minuman beralkohol bermerek ”Anggur Merah Kaliurang” dan ”Anggur Hijau Parangtritis” resmi ditarik dari peredaran setelah menuai protes keras dari pemerintah daerah (Pemda) Sleman, Bantul, serta organisasi masyarakat (ormas).
Produsen menghentikan produksi dan mencabut pendaftaran merek sebagai bentuk respons atas polemik yang dinilai merusak citra ikon wisata di Yogyakarta tersebut.
Sebelumnya Bupati Sleman Harda Kiswaya bersikap tegas, pihaknya sangat keberatan nama Kaliurang, yang lekat dengan pendidikan dan budaya, dipakai untuk merek miras.
“Ini merugikan citra daerah,” paparnya beberapa waktu lalu.
Somasi resmi pun dilayangkan ke PT Perindustrian Bapak Djenggot sebagai produsen, dengan tuntutan mengganti nama merek. Pemkab Sleman juga mengacu pada Perda DIY No. 1/2019 yang menetapkan Kaliurang sebagai kawasan wisata berbasis pendidikan .
Sementara itu, Wakil Bupati Bantul Aris Suharyanto menyatakan surat keberatan telah dikirim ke Kemenkumham untuk menolak pendaftaran merek “Parangtritis”.
”Masyarakat religius di sini merasa dilecehkan. Nama pantai ikonik tidak pantas dikaitkan dengan miras,” tegasnya .
Dukungan ormas seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah menguatkan penolakan tersebut .
Marketing produsen, Daniel, mengakui produk ini hasil kolaborasi dengan pengusaha lokal. Namun, setelah protes merebak, pihaknya menghentikan produksi dan menarik seluruh produk dari pasaran. Selain itu Ia juga mengaku telah memutus kerja sama dengan mitra lokal dan mencabut pendaftaran merek di Kemenkumham.
”Produk ini belum masif beredar, hanya di satu kios. Kami hormati keputusan Pemda dan masyarakat,” jelasnya.
Forum Masyarakat Kaliurang (FORMAKs) menyebut penggunaan nama Kaliurang sebagai ”ironi”.
”Kami selalu kampanye anti-miras, tapi nama kami justru dipakai untuk itu,” ujar Ketua FORMAKs Farchan Hariem .
Sementara Kanwil Kemenkumham DIY menegaskan mekanisme pembatalan merek terbuka jika melanggar moralitas dan ketertiban umum.
Pemkab Sleman dan Bantul berkomitmen memantau peredaran produk ilegal, sementara produsen diminta lebih sensitif terhadap nilai lokal. (*)