Tukang Becak Kirim Karangan Bunga, Film Dokumenter Ungkap Jejak Kemanusiaan Pendiri Raminten

0
13
Nia Dinata dan Dena Rachman saat menjawab pertanyaan wartawan seusai pemutaran perdana film Jagade Raminten di IFI Yogyakarta. (zukhronnee muhammad)

Sebuah karangan bunga dengan tulisan “Dari Becak di Depan Hamzah Batik” menjadi saksi bisu betapa dalamnya pengaruh Hamzah Sulaiman terhadap masyarakat Yogyakarta. Kisah sederhana ini kini diabadikan dalam film dokumenter “Jagad’e Raminten” yang tayang perdana di Auditorium LIP Yogyakarta, Minggu (22/6/2025) malam.

Lebih dari 250 undangan hadir menyaksikan film berdurasi 95 menit yang mengisahkan perjalanan hidup pendiri Raminten yang akrab dipanggil KMT Tanoyo Hamijinindyo. Namun yang paling mencuri perhatian adalah kursi kosong yang sengaja disediakan untuk mengenang sosok yang telah wafat sebelum sempat menyaksikan karya ini.

Bisnis dengan Misi Kemanusiaan

“Bapak tidak hanya membangun bisnis, tetapi membangun rumah bagi ribuan hati yang mencari tempat berteduh,” ungkap Ratri, Director of House of Raminten, dengan suara bergetar di hadapan ratusan tamu undangan.

Film yang diproduksi Kalyana Shira Foundation ini mengungkap sisi lain dari kesuksesan Raminten yang selama ini dikenal sebagai ikon wisata kuliner dan hiburan Yogyakarta. Di balik gemerlap cabaret show dan riuhnya tawa pengunjung, ternyata tersimpan misi kemanusiaan yang jarang terekspos media.

Sutradara Nia Dinata mengaku terpesona dengan konsep “unconditional love” yang diterapkan Hamzah Sulaiman.

“Beliau benar-benar merangkul orang-orang tanpa melihat latar belakang, minoritas atau mayoritas. Yang dilihat hanya kemauan kerja keras dan bakat,” kata Nia.

Tanpa Motif Komersial

Yang membuat film ini unik adalah motivasi pembuatannya. “Ini tidak ada tujuan komersialnya,” tegas Nia Dinata.

Film ini dibuat murni sebagai bentuk penghormatan dan untuk memastikan keberlangsungan warisan budaya yang ditinggalkan Hamzah Sulaiman.

Gagasan pembuatan dokumenter sudah terlintas sejak 2023, namun baru terealisasi setelah wafatnya sang tokoh utama.

“Ini adalah kado terakhir yang sayangnya tidak sempat dilihat beliau,” kenangnya.

Berbeda dengan bisnis pada umumnya, Raminten menciptakan konsep “chosen family” – keluarga yang dipilih berdasarkan cinta dan penerimaan, bukan ikatan darah. Tempat ini menjadi rumah bagi berbagai kalangan marginal, mulai dari komunitas LGBT hingga ibu rumah tangga yang bekerja.

“Lebih dari sekadar hiburan, Raminten menyediakan rumah bagi banyak kaum marginal,” jelas Dena Rachman, produser dan penulis film yang menyelesaikan disertasi tentang representasi dalam industri film Indonesia di London.

Data yang dikumpulkan tim produksi menunjukkan Raminten memberikan lapangan kerja kepada ratusan orang dari berbagai latar belakang tanpa diskriminasi. Mulai dari performer cabaret, karyawan toko batik, hingga pegawai restoran, semuanya bekerja dalam atmosfer saling menghargai.

Perjalanan ke Panggung Internasional

Setelah pemutaran kedua di ARTJOG 2025 pada 5 Juli di Jogja National Museum, “Jagad’e Raminten” akan melanjutkan perjalanan ke festival film internasional di Amsterdam, Amerika, Singapura, Hong Kong, dan Jepang.

“Semoga orang-orang di luar negeri juga bisa melihat bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang memanusiakan semua orang,” harapnya.

Rencana selanjutnya adalah mengadakan screening kecil untuk menginspirasi komunitas di luar Yogyakarta membuat teater atau cabaret sendiri. (*)