Setelah Belasan Tahun Butoh Menari Kembali ke Jogja

0
66
Penampilan Butoh di Gelanggang Inovasi dan Kreatifitas (GIK) UGM. (istimewa)

Di tengah hiruk-pikuk Yogyakarta, sebuah pertunjukan unik mengundang decak kagum penonton. Seorang penari, tubuhnya berbalut cat putih, bergerak dengan gerakan yang tampak tak terduga—kadang lambat dan mengalir, kadang cepat dan mengejutkan. 

Inilah Butoh, sebuah bentuk tari kontemporer Jepang yang kembali mengunjungi Kota Gudeg setelah 15 tahun absen.

Gelanggang Inovasi dan Kreativitas Universitas Gadjah Mada (GIK UGM) menjadi panggung utama bagi “The Life of Butoh”, sebuah festival yang berlangsung dari 4 hingga 8 September 2024. 

Acara ini bukan sekadar pertunjukan tari biasa; ini adalah pertemuan dua budaya, dialog antara masa lalu dan masa kini, serta eksplorasi mendalam tentang makna tubuh manusia dalam seni.

“Butoh adalah bahasa universal yang berbicara melalui tubuh. Di era di mana kata-kata sering kali tidak cukup, Butoh hadir sebagai medium ekspresi yang melampaui batasan bahasa,” ujar Garin Nugroho, Chief Program Officer GIK UGM, saat membuka acara pada Rabu (4/9/2024) lalu.

Diciptakan pada tahun 1950-an, bersamaan dengan gelombang seni avant-garde di Eropa, Butoh muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap pemahaman konvensional tentang keindahan dan gerakan dalam tari. Tak heran jika penampilan para seniman Butoh sering kali mengejutkan, bahkan kadang mengguncang penonton.

Hari pertama festival dibuka dengan penampilan memukau dari Fitri Setyaningsih, penari asal Indonesia. 

Namun, yang mencuri perhatian adalah Jun Amanto dari Jepang, yang membawakan pertunjukan tentang interaksi antara laki-laki dan perempuan—sebuah tema universal yang digarap dengan pendekatan yang sama sekali baru.

“Saya ingin mengeksplorasi dinamika hubungan manusia melalui gerakan yang tidak terduga. Dalam Butoh, kita belajar untuk melepaskan ekspektasi dan membiarkan tubuh berbicara dengan caranya sendiri,”  jelas Jun seusai pertunjukan.

Tak kalah menarik, Mugiyono Kasido dari Indonesia mempersembahkan “Bayu Angkasa”, sebuah karya yang menggabungkan alat musik Banyumasan dengan elemen cerita Mahabharata. 

“Ini adalah upaya saya untuk menjembatani tradisi dan kontemporer. Butoh memberi saya kebebasan untuk mengekspresikan nafas kehidupan melalui tubuh saya,” ujar Mugiyono.

## Ketika Dua Budaya Bersatu dalam Gerak

Salah satu highlight festival adalah kolaborasi antara seniman Jepang dan Indonesia. Neiro dan Mutsumi Yamamoto dari Jepang tampil bersama Rianto dari Indonesia, menciptakan fusi yang menakjubkan antara keanggunan gerak Jepang dan kekayaan ekspresi Jawa.

“Kolaborasi ini membuka mata saya tentang bagaimana tubuh dapat menjadi bahasa universal. Saya berharap acara seperti ini dapat diadakan setiap tahun untuk terus memperkaya wawasan kita tentang seni gerak,” komentar Mila Rosinta, seorang penari kontemporer yang hadir sebagai penonton.

Festival ini bukan hanya tentang pertunjukan live. Sebuah pameran poster yang dikuratori dengan cermat oleh Suwarno Wisetrotomo memberikan pengunjung pemahaman mendalam tentang sejarah dan evolusi Butoh. 

“Pameran ini adalah jendela ke masa lalu dan masa depan Butoh. Melalui foto-foto dan artefak ini, kita bisa melihat bagaimana sebuah bentuk seni dapat bertransformasi seiring waktu,” jelas Suwarno.

Bambang Paningron, Head of Community & Experience GIK UGM, menambahkan, “Butoh mengajarkan kita untuk melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan. Ini adalah filosofi yang sangat relevan di dunia yang terobsesi dengan kesempurnaan.

“Dengan berakhirnya “The Life of Butoh”, GIK UGM telah membuka jalan baru dalam lanskap seni pertunjukan Indonesia. Ini hanyalah awal. Kami berharap acara ini dapat menjadi katalis untuk lebih banyak eksplorasi seni yang mendobrak batas-batas konvensional,” tegasnya.

Sementara lampu panggung padam dan para penari menanggalkan riasan putih mereka, satu hal menjadi jelas: Butoh telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di hati Yogyakarta. 

Dan siapa tahu, mungkin di suatu sudut kota ini, seorang seniman muda sedang terinspirasi untuk memulai perjalanannya dalam dunia Butoh, siap untuk menantang definisi tentang apa yang mungkin dilakukan oleh tubuh manusia.

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, “The Life of Butoh” mengingatkan kita pada kekuatan seni untuk menyatukan, menginspirasi, dan mentransformasi. Dan di Yogyakarta, kota yang selalu memeluk keberagaman, Butoh telah menemukan rumah keduanya.