Sekolah Rakyat jadi Alternatif Pengembangan UMKM Furniture

0
26
Pemilik Blotan Indonesia, Heru Prasetyo menyampaikan paparan dalam peluncuran Workshop Blotan Indonesia di Yogyakarta, Rabu (28/5/2025) malam. (istimewa)

UMKM seeingkali tidak mendapat tempat di dalam negeri di sektor industri mebel dan furniture. Padahal pasar dalam negeri sangat besar.

Hal ini mendorong Heru Prasetyo, pengusaha asal Sleman meluncurkan Blotan Indonesia, Rabu (28/5/2025) malam di workshopnya kawasan Cebongan. Menurut Heru, pelaku UMKM harus mulai melirik potensi pasar lokal. Contohnya menyasar program pemerintah seperti Sekolah Rakyat yang tengah disiapkan, termasuk di Yogyakarta.

Program Presiden Prabowo Subianto yang akan dimulai Juli 2025 mendatang ini bisa jadi peluang besar bagi sektor furnitur pendidikan. Apalagi dalam program Sekolah Rakyat yang diinisiasi oleh Kementerian Sosial, pemerintah membangun sekitar 53 titik sekolah terpadu tingkat SD, SMP hingga SMA di berbagai daerah, termasuk di Yogyakarta.

Program ini bisa menjadi angin segar bagi industri mebel nasional. Sebab kebutuhan furnitur untuk program ini sangat besar, mencakup bangku siswa, meja guru, hingga papan tulis.

“Satu sekolah bisa membutuhkan ratusan unit furnitur. Dengan 53 titik saja sudah luar biasa, belum termasuk sekolah reguler yang juga terus dibangun,” jelasnya. Dan ini baru awal. Kalau semua kabupaten/kota ikut membangun, pasarnya akan sangat masif,” paparnya.

Dengan dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, pemilik Blotan Indonesia ini menilai belanja pemerintah untuk pendidikan akan terus meningkat. Ini menjadi ceruk strategis bagi pelaku UMKM lokal untuk menyalurkan produk berkualitas yang memenuhi standar nasional.

Hal ini memungkinkan untuk mengantisipasi kondisi ekspor UMKM di daerah yang sangat terpukul. Terlebih perang Ukraina vs Rusia dan peningkatan tarif dagang dari Amerika Serikat membuat ekspor furnitur nasional anjlok hingga 50 persen.

“Di tengah situasi ini, pasar dalam negeri harus menjadi tumpuan, dan program Sekolah Rakyat adalah peluang besar bagi UMKM,” tegasnya.

Heru menambahkan, nilai impor furnitur Indonesia pada 2023 mencapai USD 1 miliar, sebuah angka yang dinilainya sangat mengkhawatirkan. Ia menyoroti praktik impor besar-besaran sebagai ancaman langsung bagi industri lokal, terutama karena tidak memberikan manfaat signifikan bagi ekonomi nasional namun tidak menyerap tenaga kerja lokal secara signifikan

“Kalau impor, kita hanya dapat label-nya saja. Bahan baku, produksi, tenaga kerja semua ada di luar negeri. Sementara industri dalam negeri tidak tumbuh,” ungkapnya.

Karenanya pengembangan furniture yang menyasar pendidikan bisa jadi wujud nyata keseriusan UMKM dalam merambah pasar lokal. Produksi pada furnitur kayu dan kombinasi besi, disesuaikan dengan kebutuhan geografis dan lingkungan sekolah di berbagai wilayah Indonesia.

“Kita harus sejajar dengan brand besar. Ini soal keberanian, karena kalau tidak dimulai, kita akan terus tertinggal. Kami mencatat omset kuartal kedua sebesar Rp45 miliar dan menargetkan total penjualan tahun ini mencapai Rp100 miliar. Jumlah ini masih kecil dibanding potensi pasar domestik yang diperkirakan mencapai Rp3 triliun,” paparnya.

Heru menambahkan UMKM di bawah HIMKI telah siap dari sisi legalitas dan kompetensi sumber daya manusia. Produk mereka telah terdaftar dalam e-katalog LKPP dan memenuhi syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) hingga 98%.

“Kami punya pasokan bahan baku dari Perhutani, SDM terlatih, dan legalitas yang lengkap. Bahkan, produk kami sudah digunakan di Aceh, Palembang, Jogja, semuanya dari Sleman,” jelasnya.

Mereka juga memisahkan lini produksi ekspor dan lokal, sebagai strategi menghadapi dinamika pasar global. Karenanya masyarakat dan pemerintah diharapkan lebih memilih produk lokal.

Hanya dengan keberpihakan terhadap produksi dalam negeri, Indonesia bisa keluar dari ketergantungan terhadap impor.

“Ini bukan sekadar soal bisnis. Ini soal kedaulatan ekonomi. Kalau kita tidak berani, UMKM akan terus dilindas oleh produk asing,” imbuhnya.(*)