Rencana pembangunan apartemen Royal Kedhaton yang diizinkan berdiri oleh mantan Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti dibatalkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pembatalan tersebut dilakukan karena lokasi apartemen Royal Kedhaton merupakan kawasan penyangga Sumbu Filosofis Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada kawasan penyangga Sumbu Filosofis sejatinya juga tidak diperkenankan mendirikan bangunan tanpa mengindahkan aturan-aturan. IMB Royal Kedhaton yang dikeluarkan Haryadi Suyuti menyalahi aturan kawasan heritage. Diantaranya terkait masalah ketinggian yang diajukan pengembang hingga 40 meter.
Apalagi saat ini sumbu filosofis yang membentang dari Tugu Pal Putih, Jalan Malioboro, Keraton Yogyakarta, hingga Panggung Krapyak dalam proses penilaian oleh tim UNESCO sebagai warisan dunia tak benda.
“Yang kemarin kan yang diputus heritage, sebagai kawasan penyangga ditandatangani wae Hotel Kedhaton (apartemen Royal Kedhaton) ya ukurannya ya melanggar. Akhirnya kita batalkan,” papar Gubernur DIY, Sri Sultan HB X di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Kamis (25/8/2022).
Menurut Sultan, selain pembatalan pembangunan apartemen Royal Kedhaton, Peraturan Walikota (perwal) juga ikut dibatalkan. Pembatalan saat ini dalam proses pembatalan di Kementerian Dalam Negeri (kemendagri).
“Tapi yang batalke Departemen Dalam Negeri (Kementerian Dalam Negeri-red) kita nggak punya hak. Kita sampaikan ini batalkan, kan gitu,” terangnya.
Sementara terkait penilaian, lanjut Sultan, UNESCO sudah melakukan penilaian sejak Selasa (23/8/2022) kemarin. Peninjauan dilakukan untuk memastikan kekurangan dalam proses penetapan Warisan Dunia Tak Benda yang sudah diaplikasikan Pemda DIY.
Sesuai syarat yang ditetapkan, UNESCO akan melakukan evaluasi. Baru setelah itu lembaga dunia di bidang kebudayaan itu akan melakukan sidang dihadapan 22 negara anggota.
“Kan itu dibagi sesi-sesinya yang memutuskan itu 22 negara itu,” kata dia.
Sultan berharap dengan disahkannya sumbu filosofis sebagai warisan dunia akan membuat pembangunan kawasan tersebut sesuai dengan ketentuan UNESCO.
Pembangunan yang dilakukan Pemerintah DIY, Pemerintah Kota, maupun pemerintah kabupaten nantinya harus seiizin asosiasi publik yang mewakili di kawasan sumbu filosofis.
“Penetapan itu nanti kalau ada pembangunan dan sebagainya sesuai keputusan UNESCO tidak sembarang asal ngizinke (tidak asal memberi izin-red),” imbuhnya.
Kontributor: Zukhronnee Muhammad