Sekolah Negeri Bersekongkol dengan Toko Seragam, Keuntungannya 10 Miliar

0
194
Budhi Masthuri, Ketua ORI Perwakilan DIY dalam Ekspose Hasil Pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2022 di DIY. (zukhronnee muhammad)

Praktek jual beli seragam di sejumlah sekolah negeri di Jogja menemukan fakta yang mengejutkan. Fakta-fakta ini diungkap Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam Ekspose Hasil Pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2022 di DIY. 

Dalam expose tersebut, ORI Perwakilan DIY memperlihatkan sebuah video pemaparan seorang pemilik Toko seragam dalam sebuah pertemuan orang tua wali murid. Perempuan dalam video tersebut menyebutkan detail kualitas yang didapatkan oleh orang tua wali murid jika membeli paket seragam dengan spesifikasi sesuai anjuran sekolah.

Yaitu bahan untuk membuat dua seragam Osis, satu set seragam Pramuka, satu stel seragam khas sekolah dan jas sekolah. Nilai yang harus dibayar oleh masing-masing wali murid sejumlah Rp1.075.000.

Selain video tersebut, ORI Perwakilan DIY juga memperlihatkan beberapa temuan foto di penjual seragam berupa kwitansi serta beragam paket berbagai ukuran yang siap dikirim ke sekolah-sekolah yang melakukan praktik jual beli seragam di berbagai daerah.

”Ini masalah klasik, dan masih terjadi di banyak sekolah di DIY,” kata Budhi Masthuri, Ketua ORI Perwakilan DIY, Senin (26/9/2022).

“Padahal sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010, sekolah dilarang melakukan jual-beli seragam kepada siswa. Tak hanya menjual seragam, sekolah-sekolah di DIY juga menjual seragam tersebut kepada siswa dengan harga yang jauh lebih mahal,” lanjutnya.

Perbandingan dengan harga di pasaran seragam yang dijual di sekolah mengambil keuntungan mulai dari 25 persen sampai 100 persen dengan rata-rata keuntungan mencapai Rp 300 ribu per paket. Jika dijumlahkan mulai dari SMP, SMA, dan SMK, sekolah yang melakukan praktik jual-beli seragam di DIY mencapai 350 sekolah.

“Kami coba menghitung, dari masing-masing sekolah yang rata-rata menerima 200 siswa baru, seandainya ada 100 siswa saja yang membeli di sekolah pada tahun pertama, dengan selisih Rp 300 ribu, se-DIY bisa Rp 10 miliar (keuntungannya),” terangnya.

Walaupun demikian, lanjut Budhi, tahun ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, saat ini sekolah membolehkan siswa untuk membeli seragam di luar sekolah.

Karena keuntungannya yang cukup besar tersebut, Budhi mengatakan hal tersebutlah yang selalu menjadikan sekolah tetap melakukan praktik jual-beli seragam.

Praktik jual-beli seragam ini menurutnya juga dimonopoli oleh beberapa toko seragam saja yang bekerja langsung dengan sekolah-sekolah di DIY. Hal itu mengakibatkan persaingan yang tidak sehat.

“Jadi yang menikmati keuntungannya ya sekolah atau yang menyelenggarakan jual-beli seragam di sekolah dan segelintir toko itu saja,” tutupnya.

Kontributor: Zukhronnee Muhammad