Seorang siswi SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul mengalami depresi diduga karena dipaksa gurunya untuk mengenakan jilbab. Peristiwa tersebut terjadi pada Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Padahal siswi yang bersangkutan belum mau menggunakan jilbab.
Yuliani, koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) selaku pendamping siswi yang dipaksa menggunakan jilbab menceritakan, peristiwa bermula ketika siswi tersebut menjalani hari pertama MPLS pada 18 Juli 2022.
“Yang bersangkutan masuk seperti biasa tanpa mengenakan jilbab. Saat mengikuti MPLS sebenarnya anak tersebut nyaman-nyaman saja. Hanya saja pada 19 Juli anak tersebut dipanggil oleh 3 guru BK (Bimbingan dan Konseling) kemudian diinterogasi,” kata Yuliani kepada wartawan saat di kantor Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY, Jumat (29/7/2022).
Menurut Yuliani saat itu sang anak merasa dipojokan karena diinterogasi. Selain itu, disebutkannya bahwa guru BK tersebut memakaikan jilbab ke siswi tersebut.
“Ya dia juga paham mungkin dia (guru) nyontohin pakai hijab, tapi anak ini merasa tidak nyaman. Jadi merasa dipaksa. Saat itu guru sempat bertanya, lha terus kamu kalau nggak mulai pakai hijab mau kapan pakai hijab?,” paparnya.
“Dia belum mau. Itu kan enggak apa-apa, hak asasi manusia,” katanya.
Dari hal seperti itu jelas merupakan paksaan dan si siswi pun merasa dipojokkan. Saat itu mungkin gurunya masih prolog yang macam-macam, dan siswi tersebut minta izin untuk pergi ke kamar kecil.
“Di toilet, siswi tersebut menangis selama satu jam,” lanjutnya.
Yuli menjelaskan, bahwa sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, tidak ada kewajiban model pakaian kekhususan agama tertentu menjadi pakaian seragam sekolah.
“Sekolah pun tidak boleh melarang peserta didik jika mengenakan seragam sekolah dengan model pakaian kekhususan agama tertentu sesuai kehendak orang tua, wali, dan peserta didik,” imbuhnya.
Yuliani mengatakan bahwa sejak hari Selasa 26 Juli lalu, si anak mengalami depresi dan mengurung diri di kamar. Bahkan dirinya pun hanya bisa berkomunikasi dengan sang anak melalui aplikasi perpesanan WhatsApp.
Kontributor: Zukhronnee Muhammad