Peluncuran gerakan Harmoni Nusantara di Yogyakarta, Sabtu (20/9/2025), menegaskan pentingnya gotong royong lintas sektor untuk membangun ekosistem musik yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
Program kolaboratif ini digagas Nuon Digital Indonesia (Nuon) bersama Playup by Langit Musik, berpartner dengan Yayasan Tunas Bakti Indonesia Emas dan didukung Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Ketua Yayasan Tunas Bakti Indonesia Emas, Acep Somantri, menyebut kolaborasi antara industri, akademisi, komunitas, dan pelaku kreatif menjadi kunci.
“Selama lebih dari 14 tahun saya berkunjung ke banyak negara, hampir seluruh seniman hidup sejahtera karena ada pengakuan, penghargaan, dan sistem dukungan yang baik,” paparnya.
“Harmoni Nusantara hadir untuk memberi edukasi, sosialisasi, sekaligus mendorong seniman agar karya mereka menjadi sumber kesejahteraan. Yogyakarta kita jadikan pilot project sebelum dikembangkan ke daerah lain,” imbuhnya.
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi juga menegaskan perlunya apresiasi menyeluruh, bukan hanya kepada penyanyi, tetapi juga pencipta lagu, komposer, dan pengarang.
“Yogyakarta memiliki kekayaan budaya luar biasa. Melalui Harmoni Nusantara, kita bukan hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga memberi dampak nyata bagi musisi lokal agar berkontribusi bagi Indonesia dan dunia. Mudah-mudahan Jogja bisa menjadi pilot untuk menambahkan karya-karya kita semua, baik yang lama maupun kekinian,” tuturnya.
CEO Nuon, Aris Sudewo, menjelaskan gerakan ini memberi akses musisi lokal ke platform digital, baik Digital Streaming Platform (DSP) maupun Nada Sambung Pribadi (NSP).
“Harmoni Nusantara adalah langkah untuk membawa musik lokal ke ranah digital agar bisa dinikmati masyarakat luas sekaligus memberi manfaat ekonomi bagi penciptanya,” katanya.
Sementara CEO Playup, Pascal Lasmana, menekankan pentingnya legalitas pemanfaatan musik di ruang publik.
“Dengan Playup, kami ingin menjawab keresahan pelaku usaha terkait penggunaan musik. Layanan ini memastikan musik di ruang publik dapat digunakan secara legal dan transparan, bahkan membuka peluang pendapatan baru melalui audio ads,” jelasnya.
Dari sisi akademik, Wakil Rektor I ISI Yogyakarta, Dr. Dewanto Sukistono, M.Sn., menyebut Harmoni Nusantara sebagai ikhtiar kolektif mendorong hilirisasi karya seni.
“Kita sering mendengar kata hilirisasi dalam konteks sumber daya alam. Namun, hilirisasi juga penting dalam dunia seni dan budaya. Karya seni yang hanya berhenti pada penciptaan akan kehilangan daya gunanya,” kata dia.
“Jika didorong hingga distribusi digital, seni akan menjadi energi baru bagi perekonomian bangsa sekaligus menjaga identitas budaya kita,” ungkapnya.
Musisi Pongki Barata yang hadir dalam diskusi mengingatkan perlunya tata kelola royalti yang rapi.
“Idealnya, sistem ini berjalan otomatis: royalti bisa ditransfer rutin dengan basis data yang jelas, sehingga pendapatan musisi bisa terukur dan terus bertumbuh. Itu yang kita harapkan dari tata kelola musik di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Pongki, UU Hak Cipta saat ini masih terlalu umum dan belum memberi perlindungan detail bagi musisi. Ia menilai Indonesia perlu belajar dari negara lain yang sudah puluhan tahun mengelola sistem royalti secara rapi.
“Jawaban singkat saya: sudah lumayan, tapi belum cukup membanggakan,” tegasnya.
Acara peluncuran Harmoni Nusantara di Yogyakarta ditutup dengan diskusi bersama sejumlah pihak, termasuk Pongki Barata, CEO Nuon Aris Sudewo, CEO Playup Pascal Lasmana, VP Digital Music Nuon Adib Hidayat, serta perwakilan Yayasan Tunas Bakti Indonesia Emas Anis Ilahi Wahdati.
Diskusi menyoroti implementasi UU Hak Cipta, sistem royalti yang adil, hingga peran teknologi dalam menghadirkan transparansi data.(*)














